City

Program

Angin panas berhembus kencang, menghempas gejolak hamparan urban yang menyesak di antara reruntuhan gedung-gedung terbakar dan pengapnya area gang. Begitulah sekilas gambaran yang hadir ketika mendengar Emotional Humanoid, album perdana dari kuartet grindcore asal Bandung, Stroke yang baru saja dirilis melalui Disaster Records pada 9 September 2022 dalam bentuk compact disc (CD).

Band cadas yang digarap sejak 2013 ini, pertama kali meluncurkan demo beramunisikan 6 tracks padat yang dibagikan secara gratis sebanyak 500 keping pada medio 2015 lalu. Barangkali, Emotional Humanoid adalah musik ugal-ugalan nan liar yang bisa menjadi jawaban atas kerinduan khalayak generasi baru kancah musik, khususnya grindcore di Kota Bandung.

Hilman (vokal), Rian (gitar), Adit Sadut (bass), dan Iqqy (drum) tahu betul bagaimana cara menatah bumbu kemuakan ke dalam 16 tracks bertempo cepat bernuansa gahar ini. Tentunya, mereka akan menyulut emosi dan amarah pendengar terkait kondisi negeri yang makin hari makin tidak baik-baik saja dan rutinitas yang banal.

“Album ini adalah jawaban dari keresahan secara pribadi maupun sosial, apa yang kita lihat, dengar dan rasakan menjadi pondasi dari penggarapan Emotional Humanoid ini,” ujar Hilman secara singkat mewakili personel lainnya.

Pendengar bisa meluapkan kemuakan personal seperti bait lagu “Tirani” yang berbunyi “Berdiam bukan tujuan pasti/ Sebuah agresi tumbangkan oposisi/ Api dan nyala tentang jalan menantang/ Gelap nyatakan menghilang”. Atau mungkin meneriakkan serapah atas suramnya keadilan negeri dengan bait “Korupsi pasti, negeri yang mati suri/ Merdeka basi, yang miskin mati” pada lagu “Mendadak Brutal” sebagai pembuka naskah.

Terlebih dari itu, pilihan suara super heavy and dry pada gitar dan gemuruh suara bass yang menggeram keras terdengar bagaikan badai menghantam karang. Apalagi, permainan drum teknikal yang terdengar enggan kompromi membuat jantung pendengar berdegup cepat dan kencang. Uniknya, Iqqy seakan meminjam jiwa Chris Adler (eks Lamb of God) dan Danny Carey (Tool) di beberapa tracks dengan ketukan tanggung/progresif. Khusus pada vokal, pendengar bakal dibawa jauh ke era ‘80an ketika pertama kali album Drop Dead dari Siege memperkenalkan musik powerviolence kepada dunia, membuat pendengarnya ingin berteriak lantang.

Hal-hal tersebut membuat album penuh ini semakin kaya dan variatif, meskipun mengaku tetap menggenggam teguh warisan From Enslavement To Obliteration milik Napalm Death dan Helvete milik Nasum. Di sisi lain, Stroke juga mendorong eksplorasi isu yang lebih luas dengan menggaet penggawa band cadas lainnya.

“Yang membedakan dari penggarapan album ini kami mengajak beberapa kolaborator untuk mengisi di beberapa materi,” tutur Hilman. “Dan juga dalam proses perekaman untuk album ini kami pakai beberapa studio yang berbeda”.

Para kolaborator pun bisa didengar dalam lagu “Living Next Door To Hell” yang menampilkan Lord Butche (The Cruel) dan “114(2)” yang mengajak sobat masa kecil sang vokalis, Uba (Kepal). Sementara pada track penutup “Emotional Humanoid”, Stroke menyajikan musik harsh noise berdurasi 3 menit 35 detik yang mengukuhkan bahwa musik grindcore menolak keindahan musik itu sendiri.

Setelah ini, Stroke bakal memboyong Emotional Humanoid ke penampilan-penampilan mereka yang akan datang di berbagai skala event. Kabarnya, mereka pun akan segera menghelat sebuah showcase merayakan album perdananya dalam waktu dekat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *